Rabu, 19 Februari 2020

Pinjaman Sepeda Dari Bang Haris

Belakangan ini, hampir di setiap kesempatan saya dalam bertransportasi selalu melibatkan sepeda.

Gak selalu, tapi hampir selalu, alias sering.

Kekerapan dalam menggunakan sepeda ini sebeneranya dimulai dari 6 bulan lalu.

Dan ini berasal dari tantangan seorang teman, Ammar, yang baru mau ngejual jam tangan ber-GPS nya ke saya, kalau saya benar serius bersepeda.

Cerita tersebut bisa ente baca lebih detil di postingan saya yang lain.

Namun sesungguhnya, jauh sebelum itu, ada senior yang sangat berpengaruh ke kebiasaan saya untuk nge-Gontor (Gowes Nuju Kantor).

Senior tersebut tak lain tak bukan adalah Bang Haris Anwar.

Pengaruh Bang Haris


Saya awal mengenal Bang Haris di salah satu organisasi alumni bernama YKM.

Waktu itu, di YKM Bang Haris berperan sebagai salah satu penggerak dan penggagas, dan saya bersama sejumlah teman, sebagai eksekutor lapangan.

Yang saya salut dengan Bang Haris adalah, walaupun doski berposisi tinggi di kantornya, namun beliau tetap asik kalau ngobrol dengan kroco mumet seperti saya ini.

Karena kesupelan Bang Haris ini, akhirnya kalau ada apa-apa, saya gak ragu chat2 ke Bang Haris.

Termasuk di suatu malam, di kantor baru setelah saya resign dari PNS, saya sempat merenung, kayanya asik kalo bisa sepedaan ke kantor.

Sepertinya ada momen yang memicu saya kepikiran buat gowes ke kantor, tapi saya lupa apa momennya.

Yang pasti, setelah kepikiran itu, saya iseng aja nge-wassap Bang Haris, nanya2 tentang jenis-jenis sepeda kalau gak salah.

Nah, pas ngobrol tentang sepeda, kok Bang Haris-nya keliatan antusias.

Belakangan saya baru tau kalau ternyata salah satu hobi Bang Haris adalah bersepeda.

Dan yang lebih wow lagi adalah, tawaran Bang Haris, "gini aja, elu gw pinjemin sepeda gw".

Dahon Putihnya Bang Haris


Tawaran Bang Haris tersebut langsung saya sambut tanpa babibu.

Saya putusin urat malu malu saya tanpa mutusin urat kemaluan.

Saya iyain tawaran Bang Haris dan langsung meluncur ke rumah Bang Haris di hari yang telah di sepakati.

Dan di hari itu, saya baru pertama kali megang sepeda lipet yang bagus.

Dulu banget, emak saya pernah beliin sepeda lipet merek antah barantah yang buat nge"lipet"nya aja butuh waktu 20 menit, dan cucuran keringet 200ml.

Berkebalikan dengan Dahon yang mau dipinjamkan bang Haris, tinggal set set set, kelipet. praktis abis.

Bang Haris pun berpesan agar saya menjaga sepeda lipatnya.

Dia bilang "di sepeda ini ada kenangan bersama ibu saya" kata Bang Haris singkat menutup obrolan.

Cukup singkat sehingga saya benar-benar menggunakan dan menjaga sepeda Bang Haris ini selama hampir 2 tahun (atau lebih).

Peminjam macam mana pula aku ini. Pinjam sepeda kok sampe 2 tahun.

Ada perjumpaan, ada juga perpisahan. Hal ini terjadi antara saya dan Dahon Putihnya Bang Haris.

Sebuah sepeda handal yang cukup membuatkan fondasi dalam kebiasaan nge-Gontor saya.

Terima kasih Dahon Putih, terima kasih Bang Haris.

Jasa kalian tak akan ku lupakan.

Salam Gowes

Kamis, 10 Januari 2019

Same Road, Same Route, Different Story

Buat saya, jalanan by pass, terutama jalur dekat bea cukai adalah jalur yang tidak asing lagi. Saya telah melewati jalan itu berkali-kali.

Jika dihitung dari pertama kali saya numpak motor, mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan kali saya melewati jalur tersebut.

Saking hapalnya jalur tersebut, saya cukup hapal dengan beberapa rintangan seperti langganan lobang yang biasa ternganga.

Tidak hanya lobang jalan, positioning polisi jika menggelar razia di kisaran situ pun saya juga cukup paham.

Dan saya sadari, ada ribuan pengendara lain, baik motor ataupun mobil yang juga hapal jalur tersebut.

Ada ribuan pengendara lain, baik motor maupun mobil, yang rutin melewati jalur itu setiap harinya. Jauh lebih kerap dibandingkan saya.

Namun cerita melewati jalur tersebut bisa jadi berbeda di satu waktu. Seperti cerita pak Fulan, yang pagi ini mengalami kecelakaan lalu lintas di jalur lambat samping pintu masuk tol by pass sebelum bea cukai.

Saya sendiri tidak begitu paham detail kejadiannya seperti apa. Yang saya tahu, ketika saya lewat jalur lambat tersebut, sosok pak Fulan sudah terjerembab di taman bawah jalan tol, dengan motor tergeletak di pinggiran trotoar tidak jauh dari dia.

Biasanya, jika ada kecelakaan lalu lintas, saya memutuskan untuk melaju saja, karena seringkali saya tidak banyak bisa membantu korban yang sudah dikerubungi banyak orang.

Tapi kali ini saya memutuskan untuk menepi karena terlihat belum banyak orang yang bisa menolong korban.

Setelah saya menepi, tampak bapak Fulan sudah mampu berdiri tapi belum banyak bergerak.

Dua orang pemuda yang sudah inisitif menolong lebih dulu juga tampaknya sudah melihat kondisi pak Fulan.

Setelah tampak pak Fulan sudah bisa berdiri, dua pemuda ini coba menyeberangkan motor yang teronggok di bahu kenan jalan, diseberangkan ke bahu kiri jalan.

Saya coba ambil bagian membantu menyeberangkan pak Fulan ini ke bahu kiri jalan.

Tampak bapak Fulan ini adalah pegawai kantor yang biasa lewat jalur tersebut. terlihat dari pakaian kemeja dan celana bahan di balik jaket hujan lengkap yang kini penuh tanah.

Setelah minum sebotol air mineral, tampak pak Fulan ini sudah cukup sadar se-fuck up apa kondisi dia sekarang, terutama kondisi motor nya.

Motor dia jelas dalam kondisi kenapa-kenapa. Blok gigi nya pecah, olinya bocor, dan kemungkinan tangki bensinnya juga bocor.

Jelas, selain pak Fulan terhalang untuk berangkat ke kantor secara tepat waktu, bakal ada biaya besar yang perlu dikeluarkan pak Fulan agar motor nya bisa beroperasi kembali.

Jalan yang sama, rute yang sama, cerita yang berbeda. Itulah yang pak Fulan rasakan pagi ini. Dan mungkin itu yang akan kita alami di pagi yang lain.

Bukan artinya kita akan kecelekaan, belum tentu juga. Tapi untuk hal yang kita ulangi setiap hari, belum tentu memiliki output yang sama, belum tentu memiliki makna yang sama.

Janganlah untuk hal yang biasa kita laksanakan keseharian, muncul rasa sombong dalam hati kita bahwa semuanya bakal gak kenapa-kenapa.

Percaya diri boleh, Berdoa yang baik-baik harus, menafikan peran Tuhan dan memunculkan rasa sombong jangan.

Same road, same route, and there's still probability the outcome is different story.

Selasa, 01 Januari 2019

Pra Pembuka Tulisan Seri Umroh

bismisllahirrohmanirrahim, dengan nama Allah, Maha Pemurah Maha Penyayang

apa kabar semua? alhamdulillah sekarang udah memasuki tahun 2019. bagaimana perjalanan tahun 2018 kawan semua? semoga kemarin, sekarang dan ke depan, semua yang di hajatkan teman-teman bisa dimudahkan ya.

buat saya sendiri tahun 2018 adalah tahun perubahan saya. kenapa? karena ada satu kejadian besar dalam hidup saya, yaitu meninggalnya bapak saya.

tahun 2018 saya buka dengan cukup manis dan terkenang. pada waktu itu, saya sedang liburan bersama keluarga di magetan.

banyak sekali kenangan indah bermain bersama seluruh keluarga menginap di rumah yang kami kontrak selama sebulan.

ruahnya cukup luas, tapi bangunan tua dan interior rumah jawa jaman dulu yang sederhana. wah, seru deh waktu ujan. karena atapnya ada yang bolong, maka pernah tuh banjir rumahnya. terus waktu diserbu 10 pleton laron, wuih.

kenangan tersebut semakin manis karena pada waktu itu, saya sudah mulai islah dengan bapak saya.

bapak saya mulai menerima resign nya saya dari PNS dan mendukung langkah saya berbisnis di area internet marketing.

ditambah kelahiran cucu terakhir yang sempat ia lihat, dan itu adalah anak ketigaku, ibrahim. ibrahim tampak menjadi kesayangan dari kakek.

masih teringat dengan jelas sejumlah telepon dari bapak menanyakan kabar kami selama liburan di magetan.

ketika kami pulang pun, berkali kali bapak nelpon nanya sudah sampai dimana. bahkan beliau menawarkan untuk menjemput kami ketika bis kami sampai jakarta.

dan benar, walaupun sepulang liburan sampai jakartanya tengah malam, mejelang subuh bahkan, bapak bersama enyak benar menjemput kami.

well, i will never forget that memory. i will treasure that.

-berlanjut-

Minggu, 05 Agustus 2018

Bintang Membeli Hape Sendiri

Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada temen-temen di klub menulis Shafa yang berkat rules di dalamnya, akhirnya mendorong saya untuk menulis lagi.

Seminggu belakangan ini sebenarnya saya udah kepikiran untuk menuliskan tapik tulisan tertentu.

Namun, baru saja terjadi satu hal yang membuat saya membelot dari pikiran awal.

Dan pembelotan ini dipicu dari kekaguman saya pada satu anak, namanya Bintang.

Kerja Bakti Persiapan Idul Qurban


Ada satu sebab tertentu saya ketemu Bintang, yaitu kegiatan kerja bakti panitia idul qurban di masjid saya.

Kebetulan pada tahun ini akhirnya saya kebagian giliran ditunjuk menjadi ketua panitia idul qurban.

Hari semakin dekat ke hari H.

Saya yang sebelumnya tidak pernah jadi ketua panitia kegiatan di masjid, pelan-pelan mendapatkan gambaran apa saja yang harus saya lakukan.

Memimpin kepanitian kegiatan di masjid yang ada di masyarakat tentu berbeda dengan memimpin kepanitiaan atau organisasi di kampus.

Ada kearifan lokal yang perlu dikedepankan.

Kita boleh saja punya ilmu, tapi apakah kita punya ngelmu?

Dalam salah satu sesi obrolan, bapak lurah di tempat saya pernah berpesan "dik, mimpin di masyarakat itu gak cukup pakai ilmu, kalo kata orang jawa, mimpin warga itu kudu juga pakai ngelmu"

"kalau pakai ilmu, pengambilan keputusan bisa terstandardisasi, namun di masyarakat kadang perlu juga lihat situasi". Begitu kurang lebih pesan pak Lurah kepada saya dan pak Mardi.

Dan terkait kerja bakti pada ahad ini, ternyata juga demikian. Biasanya, kerja bakti persiapan idul qurban dilaksanakan dekat-dekat dengan hari H.

Namun, ternyata dari sekretaris kepanitiaan saya, yang kontribusi di kegiatan masjid terbilang cukup tinggi, meminta agar ahad ini ada kerja bakti.

Padahal, PIC dari kegiatan beberes masjid dan juga marbot masjid, hari ini ada kegiatan lain di luar.

Menurut dia, sebenarnya bisa kerja bakti nya nanti saja ketika dekat hari H. Kalau dipaksa sekarang, nanti kesannya dia tidak bertanggung jawab. 

Nah, disini saya lihat benar kata pak Lurah dan sejumlah senior, kalau ada perbedaan pendapat seperti ini, kudu dianukan demikian dengan ngelmu.

Ngelmu kaya apa sih, ngelmu komunikasi.

Orang mah sebenarnya kalau di ajak ngobrol langsung, tatap muka, terbuka, rata-rata bakal nerima keputusan kok. Dan biasanya akan selalu nemu tuh jalan tengah.

Alhamdulillah, dengan berkomunikasi secara benar, nemu jalan tengahnya, yaitu dengan,

1. gak perlu di halo-halo di speaker masjid buat ada kerja bakti;

2. masjid ditungguin buat dikomunikasiin ke orang-orang yang kadung tau ada kerja bakti;

3. lakukan kegiatan kerja bakti yang skalanya ringan yang bisa di eksekusi dengan sejumlah orang, yang tadi akhirnya dilakukan adalah bebersih tempat wudhu masjid.


Skuad awal

Bebersih tempat wudhu

Ngeletin tembok masjid yang bebekas

 

Ketemu Bintang


Singkat cerita, sekitar 8-10 orang akhirnya datang dan melakukan bersih-bersih di masjid.

Pasca bebersih masjid, makanan dan minuman pun terhidang untuk jamaah yang hadir

Terlihat ada panganan berupa gorengan, donat dan juga minuman sirop marjan tersedia.

 
Ngaso dulu

Dan di tengah waktu makan-makan tersebut tiba-tiba hadir dua anak yang bukan akamsi.

Kedua anak tersebut terlihat melongok ke dalam, dan sambil matanya terfokus ke arah makanan.

"ini lagi ada apaan pak?" tanya mereka entah nanya serius atau basa basi.

"udee, sini-sini. minum makan dulu sini. duduk.. duduk.."

Tanpa basa basi, kedua anak tersebut ikut nongkrong bareng dan sigap mengambil minuman dan makanan.

Anak pertama terlebih dahulu mengambil gelas plastik yang disediakan kemudian menyiduk sebaskom sirop yang tersedia. Anak kedua mengikuti.

Lagaknya begitu supel, rada tengil, tapi supel.

Sehabis ngambil minum, mereka berdua duduk di tangga halaman masjid.

we dont talk anymore.. we dont talk anymore.. we dont talk anymore.. like we used to be

terdengar lagu Charlie Puth dari kantong anak tersebut.

Ternyata dia membawa sebuah hape yang tercolok ke power bank, terselip di kantong dia yang kecil.

"Buset lu, udah megang hape aja. waktu usia lo dulu kagak ada gw gitu gituan" ujar seorang remaja masjid yang ikutan kaget ngeliat bocah bukan akamsi tersebut bawa-bawa hape.

"Heh, kecilin! di mesjid. setel sholawatan aja" tegur saya ke bocah tersebut. Dia nurut.

"Emang lu ngerti bahasa inggirs?"

"Ngerti pak.. nih denger pak" sambil dia mendendangkan broken english yang liriknya sepenangkep dia aja.

Ketika ditanya, namanya siapa, dia jawab "Bintang", yang satunya bernama Nizam. "kagak, namanya Nijam, make J pak", sanggah Bintang yang nggak ikutan punya nama.

Al, Umar, Bintang, Nizam
Ngobrol ngalor ngidul, Bintang pun bercerita, kebetulan lewat depan masjid ash shidiq karena lagi off.

Het dah, off apaan. Gaya bener bahasa nih anak.

"Emang lu biasanya kemana ni hari"

"Jalan-jalan pak?"

"asik bener lu jalan-jalan, emang udah kemana aja lu"

Dan dia pun tampak semakin antusias melanjutkan ceritanya "ke Ancol pak. seru deh. waktu itu ke sana waktu saudara dari sumatera dateng. kita naik bis, gratis. pake itu.. apa tu.. mm.. yah, intinya abis itu saya balikin lagi itunya. di sono seru deh"

"emang ngapain di sana?" tanya saya

"dagang donat. saya ke sana sambil dagang donat"

Lah, sekarang malah saya yang kaget. kirain jalan gimana ngapain gitu, ternyata dia jalan-jalan sambil dagang

"Emangnya elu jualan donat?"

"tiap hari pak, bawa sebaskom, untungnya gede"

"Elu sekolah?"

"Iya pak kelas 4 SD"

"Dagang donat di sekolah?"

"Iya pak, bawa sebaskom donat pak. saya selempangin"

Dia mengaku untungnya bisa 100.000 sehari.

Walaupun saya ragu itu untung atau omset, tapi tetap saja itu uang yang besar buat bocah kelas 4 SD.

"Ini nih pak, saya patungan ama dia, setengah-setengah, beli ini" ujar Bintang.

Tangannya menunjuk ke android merek Advan yang menurut pengakuannya dia beli seharga 500.000


Hape Advan nya Bintang

 "Beli make duit lo sendiri"

"Iya pak, patungan ama dia"

"Beli dimana mang?" Ujarku sambil merasa was was, jangan-jangan tongkrongan dia nyari hape sama kaya saya lagi.

"Di jembatan item jatinegara, pak" .... sue' itu tongkrongan gw juga. Dan ternyata kami sejenis.

Cuma beda lapak. Dia ngeliat lapak elektronik, saya ngeliat lapak fashion dan household item di pasar loak.

Setelah kenyang, Bintang dan Nizam pun pamit pulang. Sambil menboyong sejumlah gorengan.

Saya sendiri masih nungguin masjid sampai beberapa jamaah yang masih bersih-bersih, menyelesaikan amal baktinya.

Namun cerita Bintang yang dapat membeli barang sendiri dari hasil dagang donat itu mengingatkan saya pada sejumlah anak UI yang juga bertahan hidup dari uang hasil dagang donat.

Mereka gak malu buat dagang, meskipun danganannya "hanya" donat.

Toh dagang itu halal. Pekerjaannya halal, yang didagangin barang halal, insyaallah hasilnya halal.

Hape advan Bintang, yang layarnya udah retak-retak, jauh lebih berkah daripada jam tangan mewah milik sejumlah pejabat, yang mendapatkannya dari uang, so called, ghonimah.

Senin, 15 Mei 2017

Setelah Berpuluh Purnama, Kini Saya Putuskan Untuk Menulis Lagi

Well, sekarang saya akan menulis. Kenapa saya mulai menulis lagi setelah berpuluh purnama saya gak nulis, mungkin sesimpel karena ada tekanan. Tekanan ini muncul dari sejumlah orang yang saya informasikan bahwa saya memiliki blog. Padahal jadi calon gubernur aja kagak, tapi saya sudah dinyinyiri lantaran blog yang saya promot gak termutakhirkan. Cih...

Tapi konon, tekanan itu dalam tahap tertentu berefek positif. Tekanan yang biasa dikenal juga dengan istilah stres, berasal dari stressor, atau pemberi stres. Pada otot di tubuh kita, jika diberikan dosis stres yang tepat, maka otot tubuh kita akan terbentuk, menguat dan tidak gelemer-gelemer. Pada kadarnya, stres pada tubuh ternyata berpengaruh baik pada tubuh itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan stres pada jiwa atau mental? Dengan menggunakan analogi yang sama, jika mental ditempa dengan tingkat stres yang tepat, maka mentalitas akan lebih kuat dan sehat. Katanya sih, seorang achiever memiliki atribut tahan malang dan tekun. Dua atribut ini biasanya muncul karena tempaan stres dengan kadar yang tepat.

Di nyinyiri dengan kadar yang tepat, akan berpengaruh positif pada diri kita. Nyinyir seringkali tidak dimaksudkan untuk ngkritik. Seringkali bahasa candaan ditangkap orang sebagai nyinyir. Bagi manusia baper, nyinyir akan dibalas dengan counter-nyinyir, yang biasanya juga berupa nyinyiran. Jika demikian, maka ini bisa jadi lingkaran demit (vicious cycle) dan tiada ada akhirnya. Jika demikiran, lalu kapan kita bisa mencapai kedamaian dunia? Yang didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Maka dengan ini...

Back to topic, perihal tekanan untuk menulis. Alhamdulillah, candaan di salah satu grup yang berisi kawan-kawan saya justru membuat saya beraksi untuk menulis. Tepat ketika saya promosi blog saya, saya iseng tengok lagi tulisan saya. Satu tulisan yang membuat saya tercenung adalah artikel ini (baca nih). Di artikel itu saya sudah menyatakan bahwa saya ingin menjadi penulis. Per detik tulisan ini diterbitkan, saya belum juga menerbitkan buku. Sad.. sad.. sad..

Dude, come on, emang sih saya kayanya bukan tipe penulis yang bisa melahirkan magnum opus kaya das capital ataupun mein kampf. Nggak. Saya juga kayanya bukan tipe penulis yang tulisannya bisa masuk jurnal yang keindeks di scopus. Tapi saya yakin, minimal saya bisa bikin buku yang bisa nyaingin tulisannya Tung Desem Waringin lah... Dahsyaaatttt! Yet, sekarang belum ada satupun buku dengan nama saya sebagai penulis tercetak. Sad.. sad.. sad..

Biar gak tambah sad, maka saya putuskan untuk menulis. Layaknya angkat barbel bagi otot, saya anggap tekanan dari para fans tulisan saya sebagai stimulus untuk menguatkan kemampuan laten saya, yaitu menulis. Demikian tulisan tentang tulisan, semoga ada faedahnya. Wabillahi taufik walhidayah. Wassalamualaykum warohmatullohi wabarokatuh...