"you may forget what you learn here.. but the impression.. you may never forget it.."
- some english man toward Mr. Maliki -
Tepat 5 hari yang lalu, berakhir sudah diklat calon widyaiswara di kantorku. Diklat yang berlangsung selama lebih dari sebulan ini diakhiri dengan sesi seleksi mengajar yang di evaluasi oleh pejabat eselon 2 dari LAN. Dua hari sebelumnya, para peserta diklat telah berhasil melewati tahapan micro teaching yang dievaluasi oleh widyaiswara yang juga berasal dari instansi yang sama.
Tahapan evaluasi dan sesi micro teaching itu hanyalah ujung dari sebuah proses pembelajaran yang cukup intensif dan panjang. Diklat dilangsungkan dari hari senin sampai sabtu. Berjalannya diklat di hari sabtu ini berimplikasi pada intensitas pertemuan keluarga yang menurun. Kelelahan fisik dikalikan kelelahan batin membuat diklat ini dilalui dengan tidak mudah.
Meskipun kesannya sangat melelahkan, tapi banyak hal positif yang saya dan teman-teman dapatkan. Minimal, kami semua jadi saling mengenal satu sama lain. "Dikandangkan" bersama-sama selama sebulan lebih membuat kami mau tidak mau menampakkan sifat asli kami satu sama lain. Gak ada jaim-jaiman satu sama lain.
Selain hikmah saling mengenal, kami sekelas juga akhirnya bisa semakin paham akan pekerjaan di bidang kewidyaiswaraan. Saya pribadi menjadi lebih paham tentang profesi widyaiswara setelah melihat sendiri beragam macam widyaiswara yang mengajar kami. Tiap-tiap widyaiswara yang mengajar kami punya cirinya sendiri-sendiri, punya gaya mengajarnya sendiri-sendiri. Semua yang ditampakan, yang diajarkan, yang diucapkan, dan yang diperagakan oleh para widyaiswara pengajar kami adalah contoh yang baik. Contoh yang baik untuk ditiru, ataupun untuk tidak ditiru.
Untuk hal-hal yang tidak perlu ditiru, cukuplah saya resapi saja dalam hati ini. Tak perlu lah kekurangan orang yang belum cukup saya kenal lebih dalam kemudian saya kupas di blog ini. Cukuplah kelebihan-kelebihan mereka yang kita bahas dan kemudian kita ikuti.
Let's start with Bu Netty. Bu Netty ini adalah seorang dosen dari UNJ. Dia sudah menyelesaikan studi S3nya. Hal yang bisa diambil pelajaran dari beliau adalah bahwa kita jangan sampai menyerah dalam hal mencapai pendidikan yang lebih tinggi lagi. Jika kita sudah punya keinginan untuk belajar lagi, pasti disediakan jalan oleh-Nya.
Pengajar kedua kami adalah Bu Evita, juga dari UNJ. Sederhana saja, saya belajar tentang andragogi dengan gaya pengajaran andragogi. Mungkin banyak pengajar di luar sana yang mengaku mengajar dengan gaya pengajaran orang dewasa (andragogi) tapi nyatanya mengajar dengan gaya pengajaran kepada anak-anak. Bu Evita ini, bahasa kerennya, sejalan antara perkataan dengan perbuatan. Bravo..
Kemudian kami sekelas sempat diajar oleh Bu Michiko. Awalnya saya pikir beliau keturunan Jepang, eh tau-taunya orang Manado. Bu Michiko ini di UNJ memiliki kekhususan di bidang konseling Dari beliau saya mendapatkan gambaran bahwa sesungguhnya seorang pengajar perlu juga memiliki kemampuan konseling.
Pengajar di diklat calon widyaiswara kami sungguh hebat, termasuk evaluator dan penyeleksi kami. Banyak contoh-contoh baik ditampakkan oleh mereka. Contoh yang baik untuk ditiru maupun contoh yang baik untuk tidak ditiru. Saya pribadi merasa sangat beruntung mengikuti diklat ini. Berbekal ilmu yang saya dapatkan dari diklat ini, saya harap saya bisa menjadi pengajar ataupun fasilitator yang hebat untuk negeri ini. amiin..