Siang Bloggers. Saat ini saya masih ada beberapa PR yang belum selesai, namun tangan rasanya udah gatel untuk menuliskan lintasan pikiran yang tadi pagi sempat lewat di kepala saya. Ya, tadi pagi. Tadi pagi ketika saya berangkat ke kantor, di tengah padatnya arus lalu lintas Manggarai-Pejompongan tiba tiba terlintas di otak saya kalimat berikut, “bagaimana jadinya bila mobil dan motor ini tiba-tiba besok sudah tidak ada lagi. Dan orang-orang kembali menggunakan kuda atau keledai sebagai alat transportasinya”. Tring. Bahan bagus nih buat dibahas di blog..
Yah, bagaimana apabila sepeda motor dan mobil tidak ada dan alat transportasi kembali menggunakan kuda? Saya rasa pertama sekali efek positifnya adalah kita tidak perlu lagi pusing akan naiknya harga BBM. Buat apa pusingin BBM, toh kuda kita juga gak minum bensin kok. Palingan kita jadi pusing nyari rumput aja. Mengingat Jakarta tampaknya sudah minim kebon, yang mengakibatkan minimnya supply rumput di ibukota. Tapi tampaknya kita tak perlu khawatir dengan urusan rumput merumput ibukota. Demand yang tinggi dan minimnya supply rumput di Jakarta justru menjadi peluang bisnis bagi pedagang rumput dari daerah lain, misalnya wilayah Bojong, Depok, Bekasi dan Bogor. Ada invicible hand lah yang bermain untuk masalah rerumputan ini. That is not a big problem.
Selain masalah rumput, yang musti dipikirkan adalah ampas dari kuda-kuda yang berseliweran di jalanan ibukota, alias tokai kuda, alias taik kuda, alisa feces kuda. Bisa dibilang bahwa ampas kuda ini bukanlah masalah-masalah amat, ampas (baca: asap knalpot) motor, biskota, dan mobil lah yang sebenarnya jadi salah satu penyebab efek rumah kaca. Kualitas udara juga jadi menurun drastis gara-gara ampas kendaraan pribadi maupun umum tersebut. Namun tentu saja, bukan berarti ampas dari kuda-kuda ini tanpa masalah. Coba kita bayangkan jika tidak direncanakan dengan rapih, maka sepanjang jalanan ibukota ini akan ramai dengan tumpukan tokai—tokai kuda milik orang-orang yang bekerja di Sudirman, Gatot Subroto, Slipi, dan berbagai tempat terkonsentrasinya para pekerja. Perlu ada semacam alat yang bisa dipasangkan di bokong kuda yang bisa menampung tokai dalam jumlah tertentu. Lebih baik jika alat tersebut bisa memberikan sinyal ke dashboard kuda kita. Kalau full, sudah saatnya kita mengosongkannya. Tentu perlu diatur dalam Perda atau Undang-undang Lalu Lintas masalah pengosongan tokai kuda ini. Jangan sampai orang malah mengosongkannya sembarangan. Alangkah baiknya jika ada usaha penadah tokai kuda. Selain mengurangi jumlah tokai yang berseliweran di jalan, penadah ini bisa mengepak tokai-tokai tersebut ke dalam kemasan-kemasan yang layak dan dijual kembali ke perusahan pembangkit listrik tenaga biomassa. Ya, pembangkit listrik. Karena setahu saya yang namanya tokai itu masih bisa digunakan untuk membangkitkan energi. Renewable energy.. tokai..
Well, sesi berkhayalnya segitu aja dulu. Kapan-kapan kita kaji lebih dalam lagi tentang kemungkinan mengkonversi motor, mobil dan bis ke kuda, keledai, ataupun hewan lainnya..
Selamat Siang
Salam Tokai.. eh, Salam Kuda..