Selasa, 24 Januari 2012

K U D A

Siang Bloggers. Saat ini saya masih ada beberapa PR yang belum selesai, namun tangan rasanya udah gatel untuk menuliskan lintasan pikiran yang tadi pagi sempat lewat di kepala saya. Ya, tadi pagi. Tadi pagi ketika saya berangkat ke kantor, di tengah padatnya arus lalu lintas Manggarai-Pejompongan tiba tiba terlintas di otak saya kalimat berikut, “bagaimana jadinya bila mobil dan motor ini tiba-tiba besok sudah tidak ada lagi. Dan orang-orang kembali menggunakan kuda atau keledai sebagai alat transportasinya”. Tring. Bahan bagus nih buat dibahas di blog..

Yah, bagaimana apabila sepeda motor dan mobil tidak ada dan alat transportasi kembali menggunakan kuda? Saya rasa pertama sekali efek positifnya adalah kita tidak perlu lagi pusing akan naiknya harga BBM. Buat apa pusingin BBM, toh kuda kita juga gak minum bensin kok. Palingan kita jadi pusing nyari rumput aja. Mengingat Jakarta tampaknya sudah minim kebon, yang mengakibatkan minimnya supply rumput di ibukota. Tapi tampaknya kita tak perlu khawatir dengan urusan rumput merumput ibukota. Demand yang tinggi dan minimnya supply rumput di Jakarta justru menjadi peluang bisnis bagi pedagang rumput dari daerah lain, misalnya wilayah Bojong, Depok, Bekasi dan Bogor. Ada invicible hand lah yang bermain untuk masalah rerumputan ini. That is not a big problem.

Selain masalah rumput, yang musti dipikirkan adalah ampas dari kuda-kuda yang berseliweran di jalanan ibukota, alias tokai kuda, alias taik kuda, alisa feces kuda. Bisa dibilang bahwa ampas kuda ini bukanlah masalah-masalah amat, ampas (baca: asap knalpot) motor, biskota, dan mobil lah yang sebenarnya jadi salah satu penyebab efek rumah kaca. Kualitas udara juga jadi menurun drastis gara-gara ampas kendaraan pribadi maupun umum tersebut. Namun tentu saja, bukan berarti ampas dari kuda-kuda ini tanpa masalah. Coba kita bayangkan jika tidak direncanakan dengan rapih, maka sepanjang jalanan ibukota ini akan ramai dengan tumpukan tokai—tokai kuda milik orang-orang yang bekerja di Sudirman, Gatot Subroto, Slipi, dan berbagai tempat terkonsentrasinya para pekerja. Perlu ada semacam alat yang bisa dipasangkan di bokong kuda yang bisa menampung tokai dalam jumlah tertentu. Lebih baik jika alat tersebut bisa memberikan sinyal ke dashboard kuda kita. Kalau full, sudah saatnya kita mengosongkannya. Tentu perlu diatur dalam Perda atau Undang-undang Lalu Lintas masalah pengosongan tokai kuda ini. Jangan sampai orang malah mengosongkannya sembarangan. Alangkah baiknya jika ada usaha penadah tokai kuda. Selain mengurangi jumlah tokai yang berseliweran di jalan, penadah ini bisa mengepak tokai-tokai tersebut ke dalam kemasan-kemasan yang layak dan dijual kembali ke perusahan pembangkit listrik tenaga biomassa. Ya, pembangkit listrik. Karena setahu saya yang namanya tokai itu masih bisa digunakan untuk membangkitkan energi. Renewable energy.. tokai..

Well, sesi berkhayalnya segitu aja dulu. Kapan-kapan kita kaji lebih dalam lagi tentang kemungkinan mengkonversi motor, mobil dan bis ke kuda, keledai, ataupun hewan lainnya..

Selamat Siang

Salam Tokai.. eh, Salam Kuda..

Jumat, 20 Januari 2012

FUSION!!!

Dulu saya pernah membaca komik dragon ball (kalo tak salah) nomor 40. Disitu bercerita bahwa untuk mengalahkan monster Bhu, harus dilakukan dengan menggabungkan kekuatan antara Trunks dengan Son Go Ten. Dua buah kekuatan orang biasa ketika digabung akan menjadi seseorang yg sangat kuat luar biasa.

Kini saya teringat kegiatan bisnis teman saya, Cici-Choldut, yang dinamakan mereka sebagai ojecklondre. Ojecklondre adalah konsep bisnis laundry antar jemput. Pasangan suami istri ini mem-fusion-kan antara konsep laundry (nyuciin baju) dengan konsep ojek (antar-jemput). Dua hal yg sederhana dan digabung sehingga munculah sesuatu yg relatif baru (setidaknya untuk saya).

Melakukan fusion tidak selalu menghasilkan produk dengan kualitas yg lebih baik. Di komik dragon ball, ketika komposisi kekuatan antara Go Ten dan Trunks tidak sesuai, maka hasil fusion mereka malah jadi amburadul. Di dunia nyata juga begitu, tak sedikit produk baru yang lahir dengan cara fusion ini ternyata gagal di pasar. Contohnya aja

Tidak ada yg sempurna di dunia ini, termasuk konsep fusion. Konsep fusion jelas tak selalu menghasilkan sesuatu yg lebih unggul dan lebih keren. Namun berlatih untuk mem-fusion-kan sesuatu baik untuk otak kita. Otak kita dilatih untuk berpikir kreatif (atau agak kreatif). Dan jangan pernah berhenti berpikir. Karena berpikir menunjukkan eksistensi kita sebagai manusia, dan membedakan kita dengan mahluk lainnya.

Ingat, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Cogito kreatifo ergo sum sum (aku berpikir kreatif, maka aku ada bangettt).

Salam mikir

Homo Economicus

Tadi pagi saya sedikit membuka-buka kembali buku ekonomi SMA. Buku tersebut kerap menjadi pegangan saya ketika saya dulu masih menjadi staf pengajar bimbel mata pelajaran ekonomi. Di buku tersebut saya menenggor sebuah kata yang kerap disebut oleh para ekonom, homo economicus. Di buku tersebut pula dideskripsikan bahwa homo economicus adalah orang yang masuk akal dalam melakukan tindakan ekonomi, jika untuk sebuah barang yang sama toko A menawarkan lebih murah dibanding toko B, maka seorang homo economicus akan memilih toko A. Penjelasan lanjutan dari buku itu adalah, maka toko B akan ditinggalkan dan toko A akan ramai. Membaca itu, saya langsung nyeletuk dalam hati “ah, enggak juga kalee..”.

Dari pengamatan awam saya, faktor harga memang berpengaruh besar pada laku tidaknya sebuah barang. Namun ternyata buat sejumlah kalangan, faktor harga tidak dijadikan konsideran dalam memilih sebuah barang. Malahan ada kalangan yang malah baru mau membeli suatu produk apabila produk tersebut mahal. “Ada harga, ada kualitas”, begitu kira-kira kata orang dari kalangan tersebut. Menarik untuk dikupas anomali homo economicus ini. Saya akan beri sejumlah contoh yang pernah saya amati, mainan anak.

Pasar Prumpung atau dikenal juga dengan Pasar Gembrong merupakan pasar yang kurang lebih specialty nya adalah mainan. Surga mainan. Tentu tidak semua mainan ada di sini, namun secara mayoritas, mainan anak tersedia dengan cukup lengkap di pasar ini. Suatu hari saya dan istri mencari mainan untuk anak pertama kami di pasar ini. Dari beberapa barang yang terbeli, kami mendapatkan sebuah kereta-keretaan yang lokomotifnya berupa tokoh kartun “Thomas”. Kami membelinya dengan harga final Rp65.000,00 saja. Plus sebuah track melingkar, 2 pohon mainan kecil, dan sepasang batere merek cina. Well, saya masih bisa disebut manusia normal, karena berdasarkan definisi buku tersebut, manusia adalah homo economicus, dan homo economicus memilih barang di toko yang harganya relatif lebih murah dibanding tempat lain. I’m glad to hear that. Tapi ternyata saya melihat ada kenyataan lain. Banyak “manusia” yang masih membeli mainan dengan spesifikasi yang sama dengan yang saya beli, di toko yang menawarkan dengan yang lebih tinggi. Banyak orang yang beli mainan “made in China” ini di tempat yang lebih mentereng seperti di Mall atau Plaza tertentu dengan harga yang lebih mahal. Lalu apakah bukan homo economicus, sehingga mereka bukan manusia?

Oke lah ya, penjelasan tentang homo economicus ini agak kurang valid kalau sumbernya dari buku pelajaran anak SMA, tapi yuk ane tampilin nih definisi homo economicus dari “kamus” online terbesar, wikipedia:

Homo economicus, or Economic human, is the concept in some economic theories of humans as rational and narrowly self-interested actors who have the ability to make judgments toward their subjectively defined ends.”

Kalau diterjemahin sih kurang lebih kayak begini “homo economicus adalah sebuah konsep dari teori ekonomi yang menganggap manusia sebagai makhluk rasional dan memikirkan kepentingan dirinya. Dia memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang ingin dia capai”.

Jadi kalau pakai definisi kutipan wikipedia, yang namanya homo economicus itu rasional. Kualitas sama, harga lebih mahal, secara rasio gak mungkin dibeli. Namun banyak loh barang-barang yang pool di mall/plaza/gerai/hypermarket tuh sebenarnya barang yang bisa anda temui juga di toko kelontong dengan harga dua sampai tiga kali lipat lebih murah. And yet di tempat yang lebih mahal itu masih banyak yang beli.

Ada beberapa kemungkinan kenapa perilaku irasional tersebut terjadi. Satu, imperfect information, informasi tidak sempurna. Dalam beberapa kasus, seseorang mau membeli di tempat yang lebih mahal karena memang sesederhana nggak tau ada tempat yang jual lebih murah. Buat pembeli, imperfect information adalah musibah, buat penjual, surga. Well, homo economicus baru bisa terjadi dengan ASUMSI adanya perfect information. Wait wait, kenapa “asumsi”nya saya ketik dengan huruf besar? Yah, sebagai penekanan aja sih. Soalnya dimana-mana teori ekonomi selalu menekankan kata “asumsi”. Menurut gw pribadi sih istilah “asumsi” ini adalah semacam dalih dari kelemahan teori ekonomi yang ada.. hehe.. *peace*

Kedua,simply karena sebenarnya kebanyakan manusia adalah makhluk irasional. Keirasionalan ini muncul misalnya saja karena brand, packaging, layout, dan hal hal semacamnya. Cuma karena sebuah snack diberi label merek tertentu, dan dipajang di mall, maka harganya bisa melejit setinggi langit. Sebuah sepatu dengan ongkos produksi kurang dari Rp80.000 bisa dijual di toko dengan harga lebih dari Rp500.000. Dengan sedikit permainan “diskon-diskonan”, maka kemudian sepatu tersebut terjual dengan harga Rp200.000, dan gilanya lagi yang membeli masih sempet berkata “dapet murah nih..”. Oh ya, selain brand dll yang telah saya sebut itu, keirasionalan banyak orang dikendalikan juga oleh yang namanya fashion. Iya, orang yang care dengan dunia fashion, menurut saya, adalah orang yang totally irrational. Kasihan.. :p

Akhirul kata intinya gak semua manusia itu homo economicus kok. Gak semua manusia menggunakan rasio nya ketika mengambil keputusan ekonomi. Untuk para konsumen, be smart lah. Mari kita menggeser diri kita dari orang yang gak rasional ketika mengambil keputusan ekonomi menjadi orang yang rasional. Buat para produsen, well, be happy lah. Masih banyak tuh konsumen yang masih bisa dikibulin dengan fitur-fitur marketing yang kite (marketer) udah pelajarin. Yah, lumayanlah, bisa ngambil margin lebih. Halal kok, gak nipu ini.. wekk.. hehe..

Salam Ekonomikus..