Jumat, 08 Maret 2013

Bukan Sekedar Nilai Sekolah

sistem pendidikan di Indonesia menuntut pelajarnya untuk pandai di banyak bidang. matematika, ipa, ips, bahasa, kesenian, olahraga, pmp merupakan pelajaran yang harus ditelan oleh anak didik dari tingkat dasar sampai tingkat atas. di tingkat pendidikan menengah dan atas, mata pelajaran ipa dan ips ini beranak pinak menjadi beberapa mata pelajaran, antara lain kimia, biologi, geografi, dan sosiologi.

beberapa orang tua yang sangat fanatik dengan nilai biasanya menuntut anak-anak mereka untuk pandai di semua bidang tersebut. sebagian besar dari "beberapa orang tua" tersebut secara spesifik ingin agar anaknya benar-benar pandai di bidang eksakta.

anak dari orang tua semacam itu, bisa jadi beruntung, bisa juga tidak. sejatinya jika seorang anak dianugerahi orang tua yang sangat concern dengan nilai-nilai mereka, maka mereka mempunyai seorang motivator gratis. namun tak sedikit dari anak-anak tersebut yang memandang, justru orang tua semacam itulah yang menjadi demotivator.

bagi anak-anak yang menjadikan tekanan dari orang tua sebagai motivasi, maka dia akan (berusaha) melejitkan prestasinya. namun bagi anak-anak yang memandang tekanan orang tua tersebut sebagai demotivator, maka anak tersebut akan tumbuh berkembang menjadi anak yang bermasalah (delinquent children).

di masa sekarang, para orang tua seharusnya mulai sadar bahwa yang menyebabkan seorang anak sukses ketika dewasa nanti bukanlah disebabkan oleh nilai-nilai pelajaran yang tinggi. memang benar, anak-anak dengan nilai pelajaran yang tinggi punya kesempatan untuk mendapatkan beasiswa pendidikan di sejumlah universitas. namun perlu diingat, tanpa nilai yang tinggi pun, anak-anak tersebut tetap bisa sukses.

di Inggris, seorang anak yang bernama Willard Wigan diolok-olok oleh guru dan teman-temannya karena tidak bisa membaca. Willard menghadapi kesulitan membaca tersebut tanpa tahu apa sebabnya. dengan ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang, Willard akan terdeteksi sebagai penderita dyslexia. namun, ketika masa kecilnya dulu, Willard tercap sebagai sebagai anak yang bodoh, sangat bodoh.

bukannya jatuh ke dalam rasa putus asa, sedih, dan emosi negatif lainnya, Willard malah memfokuskan diri pada hobinya, mengukir benda-benda mini. pertama kali dia memulai hobinya, dia membuat rumah untuk semut-semut kecil. ibunya melihat hasil Willard tersebut. Ibunya memuji hasil karya anaknya tersebut. merasa termotivasi, Willard terus menekuni hobinya dan menjadikannya sebagai karir.

sekarang Willard menjadi salah seorang pengukir benda mini yang terkenal. sejumlah media mengkategorikan karyanya sebagai nano-sculpture. berkat karya-karya seninya, dia mendapatkan gelar MBE (Member of British Empire) oleh Ratu Elizabeth II. karyanya menjadi koleksi dari beberapa orang terkenal seperti pangeran Charles, Elton John. Mike Tyson, dan Simon Cowell.

bisa jadi nasib Willard akan berbeda jika ibunya tidak mendukung hobinya. mari kita bayangkan jika sang ibu malah berkomentar "IIIHHH WILLAAAARD, KAMU NGAPAIN?! BIKIN KOTOR LANTE AJA!! CEPAT SAPU TUH RUMAH SEMUT, SEKARAAAANGG!!!!". atau mari kita bayangkan adegan dimana Willard menguping pembicaraan ibunya ke bapaknya "pak, anak 'e dewe kok gendheng ya. de'e dolane karo semut 'e". wah gak tau deh nasib Willard Wigan sekarang kalo hal tersebut yang terjadi.

seseorang yang ingin berprestasi perlu dukungan dari orang-orang di sekitarnya. dukungan tersebut memang bukan syarat mutlak, sebagian orang justru malah makin tertantang dan berhasil ketika tidak ada yang mendukung. namun tentu saja, dukungan adalah sebuah katalisator dari sebuah keberhasilan.

anakpun demikian, mereka membutuhkan dukungan positif dari orang tuanya untuk berprestasi. dukungan tersebut sebagian besar merupakan dukungan moral dari orang tua mereka. tentu saja orang tua berhak untuk mengarahkan anaknya ke jalan yang lurus. coba kita bayangkan kalau anak lelaki kita yang berusia 5 tahun berkata "papa/mama, aku mau jadi sailormoon donk. ato gak jadi anggota JKT48 deh.. boleh yah.. yah". kalau sih bakal pengsan berdiri kalau anak saya berkata demikian.

jadi untuk para orang tua sekalian, terus dukung hobi anak anda yang positif. gak apa-apalah nilai raport mereka isinya cuma 8 semua. gak apa-apalah cuma jadi ranking 2, asal dia punya kemampuan dan kemauan yang kuat untuk menekuni suatu hobi yang positif.

Salam Pendidikan!

Fairy Tale (sumber: willard-wigan.com)

St. Bartholomew Church (sumber:dailymail.co.uk)

Golden Harley (sumber: willard-wigan.com)

Taylor of Glouce (sumber: willard-wigan.com)

Willard Wigan MBE (sumber: willard-wigan.com)



Kamis, 07 Maret 2013

Menjadi Ahli

ketika dalam perjalanan pulang semalam, tetiba saya teringat dengan teori 10.000 jam. teori 10.000 jam mengatakan bahwa ketika seseorang menghabiskan waktu selama 10.000 jam untuk suatu hal, maka ia bisa menjadi ahli dalam hal tersebut.

saya tahu tentang teori ini pertama kali dari twit pak Jamil Azzaini, seorang motivator gaek di indonesia. belakangan saya ketahui bahwa teori ini pertama kali diangkat dari buku Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers. Gladwell mendasari pernyataannya tentang teori 10.000 jam ini dari penelitian Anders Ericsson. 

Ericsson meneliti murid-murid pada akademi musik Berlin. ternyata pada sekolah musik tersebut, murid-murid yang berprestasi dan dikategorikan elit menjalani waktu latihan yang berbeda dengan murid dalam kategori bagus ataupun rata-rata. murid tingkat elit tersebut menghabiskan waktu 90 menit setiap hari untuk melatih kemampuannya. total akumulasi latihan murid tingkat elit tersebut kalau diakumulasi rata-rata akan mencapai 10.000 jam.

menurut Gladwell, teori tersebut ternyata juga berlaku untuk bidang profesi yang lain. olahragawan, ahli komputer, pemusik, menghabiskan banyak sekali waktunya terus memupuk kemampuannya sampai mereka masuk dalam kategori ahli. 

dalam perjalanan motor semalam, saya membayangkan diri saya sendiri sebagai seorang ahli dalam bidang penulisan. dan untuk menjadi ahli dalam menulis, maka saya perlu menghabiskan waktu yang sangat banyak untuk berlatih menulis. tadinya saya agak lupa, saya pikir teorinya adalah teori 1000 jam, bukan 10.000 jam. 

kalau teori yang dipakai adalah teori 1000 jam, maka saya perlu menghabiskan waktu 3 tahun untuk menjadi seorang ahli. asumsinya yang dipakai dari takaran saya adalah saya meluangkan waktu selama 1 jam setiap harinya untuk menulis. 1 jam, setiap hari, selama 3 tahun meluangkan waktu menulis.

sungguh bukan hal yang mudah. butuh komitmen yang sangat kuat untuk mau konsisten setiap hari menulis. dan untuk menjadi ahli semakin tidak mudah ketika saya teringat bahwa teori yang benar itu teori 10.000 jam, bukan 1000 jam. jadi untuk menjadi ahli dalam bidang kepenulisan saya perlu meluangkan waktu 1 jam, setiap hari, selama 30 tahun untuk latihan menulis. (T_T)

setelah mengingat betapa gak mudahnya jadi penulis beneran, saya langsung menyesal dulu-dulu saya terlalu banyak investasi waktu untuk main Playstation (´A`。). mungkin kalau dikalkulasiin mungkin saya udah jadi ahli dalam nge-game kalik. tapi toh nyatanya di dunia gaming yang begitu cepat perubahannya, saya ini disebut gamer tingkat rata-rata pun kagak nyampe. 

Yah, napas masih ada. tidak ada kata terlambat dalam mencoba. kalau diasumsikan saya akan mati usia 60 tahun, dan saya start untuk berlatih menulis dari sekarang, usia 26 tahun, maka saya bisa menikmati disebut ahli selama 4 tahun. lumayanlah ada capaian. kan kalau saya berhasil jadi ahli menulis maka saya bisa beramal jariyah tuh dengan ngisi seminar tentang menulis dimana-mana. kelasnya tentu beda donk, amal jariyah level amatir dengan level ahli.

So, temen-temen sekalian, selamat merenung ye, kira-kira kalian punya cita-cita jadi ahli atau tidak. kalau ada, ya mulailah berlatih... yang banyak.

suasana di tempat akademi musik berlin (sumber: academics.com)

MIMPI

setiap anak kecil adalah para pemberani. mereka berani bermimpi. mereka berani untuk membayangkan diri mereka akan menjadi apa disaat dewasa nanti. kekuatan mimpi ini ditopang dengan imajinasi yang kuat. sangat kuat.

seiring berjalannya waktu, anak-anak itupun mencoba menyesuaikan mimpi mereka. sebagian menambah daftar mimpi mereka. sebagian mengganti mimpi mereka. sebagian mematikan mimpi mereka. keberanian dan daya imajinasilah yang membuat seorang anak mau dan mampu untuk terus bermimpi.

tapi ketika anak-anak itu tumbuh dewasa, mereka semakin "sadar diri". mereka semakin "realistis" dengan mimpi mereka. mereka menyesuaikan diri. dulu sekali, darwin pernah bersabda tentang survival of the fittest. inti pesan darwin tersebut adalah, yang paling mampu beradaptasilah yang akan terus bertahan hidup. mungkin kebanyakan orang dewasa mengartikan sabda darwin tersebut dengan meng-edit mimpi masa kecil mereka.

dalam penafsiran yang tepat, maka survival of the fittest itu merupakan pegangan hidup yang cukup tepat. namun kebanyakan orang menggunakannya dengan cara yang salah, termasuk ketika melihat kembali mimpi-mimpi masa kecil mereka.

mari kita simak kisah Chris Hadfield. Chris lahir di Kanada tahun 1959. pada usia 9 tahun, dia bermimpi menjadi seorang astronot. tapi pada masa itu, orang yang bisa ke luar angkasa hanyalah orang Rusia atau Amerika. negaranya, Kanada, pada saat itu, bukanlah negara yang mempunyai teknologi untuk mengirim orang ke luar angkasa.

meskipun melihat kenyataan demikian, Chris tidak berhenti untuk bermimpi. Chris terus mengafirmasi dirinya bahwa dia mampu untuk menjadi seorang astronot. dia terus memupuk kemampuan dan kompetensinya. meskipun demikian, dia tetap tidak bisa menjadi astronot. Chris malah masuk bekerja menjadi kadet di angkatan udara Kanada.

tapi mimpinya tetap tak berubah. akhirnya suatu hari suatu kesempatan datang. NASA membuka lowongan untuk menjadi astronot. Chris pun mendaftarkan diri. dengan berbekal kemampuan dan kapabilitasnya, dia terpilih menjadi bagian dari NASA setelah melewati seleksi yang sangat ketat.

setelah melewati perjalanan yang panjang, Chris akhirnya berhasil menjadi astronot. tidak hanya sekali, tapi dia telah dua kali melakukan perjalanan ke luar angkasa. Chris adalah contoh orang yang tidak melepaskan mimpinya. Chris memperjuangkannya, dan dia berhasil.

tak semua orang bisa seperti Chris Hadfield. tak semua orang bisa mencapai mimpinya. tapi semua orang sejatinya bisa bermimpi. dan semua orang perlu untuk berani memperjuangkan mimpinya.


Senin, 04 Maret 2013

Menulis, Terpaksa atau Rela?

kemampuan menulis artikel tidaklah bisa didapatkan secara tiba-tiba. dia bukanlah sebuah bawaan gen yang turun dari orang tua ataupaun nenek moyang. tidak lain dan tidak bukan, kemampuan menulis artikel muncul dari usaha yang dilakukan secara terus menerus.

usaha untuk menulis ini bisa muncul dari kerelaan ataupun dari keterpaksaan. buat anda yang pernah mengecap bangku mahasiswa, tentu tidak lupa akan tugas-tugas menulis yang harus dikumpulkan dalam tenggat waktu tertentu. terlebih jika sedang menempuh ujian akhir, biasanya para mahasiswa bisa untuk menulis jawaban dalam essay yang panjang bak profesional.

contoh di atas merupakan contoh yang muncul dari keterpaksaan. juga merupakan keterpaksaan jika seseorang harus menulis untuk menafkahi keluarganya. tidak sedikit rekan jurnalis yang mau tidak mau harus menulis artikel jika ingin dapurnya terus mengepul. sudah menulis saja kadang gak ngepul, apalagi tidak menulis.

selain muncul dari keterpaksaan, usaha untuk menulis ini juga muncul dari sebuah kerelaan. sebelum generasi facebook dan twitter bermunculan, telah terlahir lebih dulu generasi "dear diary". generasi ini biasanya menumpahkan segala keluh kesahnya dalam bentuk tulisan, panjang ataupun pendek. biasanya kata pembuka dari buku harian tersebut cukup seragam, yaitu "dear diary".

sadar ataupun tidak, generasi "dear diary" ini telah melatih dirinya untuk mampu menulis. bahkan generasi internet sekarang yang lahir dan besar dalam ruang situs facebook dan twitter sekalipun sejatinya juga berekspresi dalam sebuah tulisan. tentu dengan ditambah sedikit pengembangan, generasi facebook dan twitter ini bisa menjadi para penulis yang handal.

Lalu, manakah yang lebih baik, usaha menulis yang muncul dari keterpaksaan atau kerelaan? menurut saya, mau terpaksa atau rela, yang lebih baik adalah yang menulis.

Salam nulis!

Mentalitas Melayani

"dimarahi bos, itu bahaya. tapi dimarahi konsumen, itu jauh lebih bahaya. soalnya konsumenlah yang gaji bos kami". begitulah kira-kira kata mutiara yang terpasang pada salah satu restoran lele yang cukup terkenal. lucu dan menggelitik isi pesannya. otak kta seakan diajak berpikir tentang sebuah filosofi dalam berdagang.

Dalam berdagang, jamak kita dengar bahwa pembeli adalah raja. orang yang menanamkan mindset ini biasanya sadar dan mau memberikan pelayanan prima untuk para pelanggan yang dilayaninya. sebaliknya, pedagang yang tidak meyakini ini biasanya hanya akan jadi pedagang yang mediocre, atau pedagang yang usahanya gagal terus.

pelayanan yang prima kepada pelanggan bisa dilihat dari tingkat kepuasan pelanggan. sejumlah ahli menganggap kepuasan pelanggan ini abstrak. namun bagi sejumlah pelanggan, kepuasan pelanggan ini mampu dirasakan. jika pembeli puas, maka sang pedagang akan mendapat keuntungan yang berlipat-lipat. selain dapat untuk dari pembelian, sang pedagang akan mendapatkan pemasaran gratis dari sang pelanggan yang puas.

Jeff bezos, CEO amazon mengatakan bahwa perusahaan yang dipimpinnya (amazon.com) bisa tumbuh sedemikian rupa karena menjadikan kepuasan pelanggan  sebagai filosofi perusahaannya. dia mengakui bahwa dalam jangka pendek, sebuah perusahaan bisa untung dengan mengeksploitasi kantong pelanggannya. tapi jika perusahaan ingin untung dalam jangka panjang, maka kepuasan konsumenlah yang harus terus dijaga.

banyak diantara teman-teman saya yang langgeng dalam usahanya karena menjaga kepuasan pelanggan mereka. diantara teman-teman saya itu ada yang sekarang sudah melambung tinggi usahanya dan ada yang belum. namun saya meyakini, meskipun belum sukses, sesungguhnya mentalitas pedagang yang berhasil telah mereka miliki.

Salam Lele!