-Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...-
Kemarin saya baru saja menguplak-uplak arsip lama kantor dan akhirnya menemukan majalah tempo pertengahan 2010. Di situ ada ulasan tentang seorang tokoh yang ketika kuliah akrab kudengar namanya, Sapardi Djoko Darmono. Dialah sang pembuat puisi dengan judul 'Aku Ingin', sebuah puisi yang jamak dikutip dalam undangan-undangan pernikahan. Sebuah puisi yang sederhana tapi sangat mengena. Iya, sederhana. justru karena sederhana ia sangat amat mengena di hati. Waktu pertama kali saya membaca puisi ini, terus terang saya ternganga, atau dalam bahasa keseharian di rumah saya, NGANGAP (ngangap adalah suatu kondisi dimana mulut terbuka lebar seperti ingin menelan sesuatu, bisa juga terjadi sebagai wujud ekspresi kaget atau kagum).
Dalam ulasan itu ditulis bahwa Sapardi pernah dikritik karena puisinya memiliki perbendaharaan kata yang minim, di ulang-ulang, dan tidak kompleks. Tapi justru disitu menurutku kekuatan dari puisi-puisi beliau. Beliau berhasil mengulik hal-hal yang sederhana yang sering tidak kita sadari bahwa hal-hal tersebut sangat sarat makna.
Terus terang, sedari awal saya sangat penasaran, darimana munculnya kemampuan mengupas hal-hal sederhana seperti itu. Ulasan Tempo itu sedikit memberikan jawaban, mungkin karena Sapardi tak disibukkan mendengar kisruh dan hingar bingar tontonan pertelevisian. Dia tak pernah menyetel televisi, demikian Tempo berkata. Saya mengambil kesimpulan, selain karena berbakat dan berpengalaman, insting Dam (salah satu sapaan Sapardi ) itu tetap tajam karena tidak ditumpulkan oleh hal-hal yang kelewat kompleks. Kita ambil contoh, saat kau memacu kencang mobilmu di jalanan, apakah kau bisa menikmati pemandangan di samping kanan-kiri jalan yang kau lalui? Buat saya, pemandangan di kanan-kiri jalan baru bisa saya nikmati kalau saya mengendarai mobil saya dengan pelan-pelan. Jalanan semakin bisa dinikmati dan saya kenali jika saya pelan-pelan mengamatinya dengan bersepeda atau berjalan kaki. begitu pula dalam mengambil 'hikmah' dalam setiap kejadian-kejadian kecil, akan sulit dilakukan jika kita terlalu 'mengebut' mobil kehidupan kita. Dan buat saya menikmati hingar bingar tontonan televisi adalah salah satu cara untuk 'mengebut' hidup kita. Efeknya adalah kita menjadi lalai pada hal-hal yang ada disekitar kita.
Belajarlah melihat secara lebih dalam, melihat dengan kesederhanaan. Belajarlah bertutur dengan kesederhanaan, karena dengan begitu mungkin makna terdalam bisa di sampaikan. Maka izinkanlah saya menuliskan bait puisi sederhana ini untuk istri saya tercinta:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti marka jalan yang tak pernah berubah, agar kau tak kehilangan arah
Aku ingin mencintaimu dnegna sederhana, seperti kerelaan kertas koran yang tak melawan, walau tertulis ribuan aksara di atasnya
-AlKautsar, 2011-
26 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar