Panas. Aspalnya terasa panas. Kening saya yang bersujud di sholat Jumat berjamaah tersebut merasakan panas aspal tersebut. Sehelai koran yang diberikan orang disebelah saya sedikit mengurangi rasa panas tersebut. Tapi dibalik rasa panas tersebut, saya bersyukur, karena saat itu saya bisa sholat Jumat bersama dengan para buruh dan elemen masyarakat yang lain, di jalanan depan gedung DPR/MPR, Senayan.
Pada pertengahan 2012 kemarin, saya sedang magang di kantor pusat yang bertempat tepat di seberang gedung DPR/MPR. Pada hari itu terdengar kabar ada demo besar. Demo tersebut membawa isu menentang kenaikan harga BBM. Meskipun almamater fakultas ku dulu adalah fakultas pendukung pencabutan subsidi BBM premium oleh pemerintah, tapi entah kenapa saya sendiri kurang sepakat dengan ide pencabutan subsidi tersebut. Menurut saya, justru masyarakat kelas menengahlah yang harus secara sadar dan rela mengkonversi penggunaan BBM-nya dari premium ke pertamax.
Terlepas betapa bodohnya ide saya tersebut, pemerintah tetap berketetapan untuk mencabut subsidi BBM premium. Dan pada kenyataannya demo besar tersebut tetap dilaksanakan. Kebetulan hari itu hari Jumat. Para pendemo pun tidak lupa untuk menunaikan sholat Jumat, di tempat. Mereka menjadikan mobil sound komando sebagai mimbar, dan shaf-shaf pun mulai tersusun satu persatu dihadapan mobil sound tersebut.
Saya pribadi melihat sholat Jumat di tempat demo tersebut merupakan pengalaman yang sayang untuk dilewatkan. Sebenarnya dulu waktu muda juga pernah sholat jamaah di tempat demo. Namun pengalaman sholat di tempat demo itu bukan ketika sholat Jumat, kalau gak salah sholat maghrib, isya dan subuh. "Kapan lagi", begitu pikir saya. Saya pun menyeberang jalan, melewati beberapa wartawan dalam dan luar negeri yang bersiap-siap di jembatan penyeberangan depan gedung DPR/MPR. Saya pun melewati sejumlah "aktivis" mahasiswa yang duduk-duduk ngerokok di sejumlah tempat.
Sesampainya di tempat sholat Jumat, sang khotib sudah mulai berceramah. Dia ingatkan kepada para penguasa sekarang agar tidak lupa untuk menjalankan amanahnya. Amanah penguasa tersebut berupa komitmen untuk mensejahterakan rakyatnya, dan bukan malah membuat rakyatnya menderita. Konteks sang khotib secara khusus sudah jelas, jangan cabut subsidi premium karena mencabut subsidi tersebut akan membuat rakyat menderita. Saya pribadi sebenarnya juga paham bahwa pemerintah bermaksud mencabut subsidi tersebut tidak (secara langsung) untuk menderitakan rakyatnya.
Namun dari ceramah sang khotib, saya mengambil sebuah pelajaran. Pelajaran bahwa betapa tidak mudahnya menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat. Betapa tidak mudahnya menjadi amir yang adil bagi rakyat yang dipimpinnya. Seketika saya merasa betapa bodohnya saya ketika dulu memimpikan memegang tampuk kekuasaan di pemerintahan. Betapa naifnya saya dulu ketika berpikir bahwa ketika orang-orang macam saya mampu memegang posisi yang strategis di pemerintahan, maka ujug-ujug baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur akan terbentuk.
Aspal di siang itu memang panas, tapi masih tidak sepanas api neraka. Tidak sepanas api yang akan membakar mereka (dan mungkin saya) jika berani melanggar amanat Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar