13 Februari 2012

Diversity of Rain Density



Tadi malam merupakan perjalanan nostalgia depok-matraman buat saya. ya, nostalgia. nostalgia kehujanan. sebenarnya bukan pertama kali ini saja saya kehujanan selama dalam perjalanan. tapi perjalanan tadi malam adalah perjalanan depok-matraman pertama setelah berbulan-bulan gak kehujanan di motor di rute tersebut.



Sebenarnya tadi malam saya tidak meniatkan untuk kehujanan. saya berharap selepas rapat, saya bisa menuju rumah dengan keadaan kering. maklum, kering saja kalau jalan malam bisa kedinginan, apalagi ditambah guyuran air hujan dengan intensitas tinggi. ditambah lagi dengan faktor usia yang sudah tak muda lagi. ketika muda dulu, bahkan saya masih kuat nembus hujan malam-malam tanpa jas hujan, bahkan tanpa anti angin.

Udara malam+guyuran hujan+terpaan angin=indomie rebus hangat+teh hangat+tidur nyenyak. begitu kira-kira rumus kehujanan aku ketika muda dulu. tapi usia tak bisa berbohong. di usiaku yang sudah seperempat abad lebih, bahkan dengan jaket hujan double pun, masih saja saya tumbang.

Dalam perjalanan nostalgia malam tadi, saya mengamati sebuah fenomena yang saya namakan sebagai diversity of rain density. keanekaragaman lebatnya hujan. fenomena ini baru bisa dirasakan ketika seseorang melaju dari satu wilayah ke wilayah yang lain di tengah hujan. ketika kecil saya berpikir, kalau di matraman hujan deras, di jatinegarapun insya Allah juga hujan deras. tapi ternyata tidak seperti itu.

Tadi malam di detos, titik awal perjalanan saya, tingkat kelebatan hujan itu sekitar 7 dari skala 10. paramater saya sederhana. seberapa cepat kita bisa basah kuyup dengan berdiri kehujanan. semakin tinggi skornya berarti semakin cepat kita bisa basah kuyup sekujur badan. begitu pula sebaliknya. nah, ketika saya sampai lenteng agung ternyata skor kelebatan hujannya tak berubah jauh, 7,5 skala 10.

Namun ketika saya memasuki wilayah tanjung barat, tingkat kelebatan menjadi 9. berkurang menjadi 7 di titik sebelum underpass pasar minggu. dan meningkat stabil sampai sekitar kalibata.

Yang membuat saya kagum dengan fenomena ini adalah, ketika saya sudah masuk gang bunga di matraman, tingkat kelebatan turun menjadi 2. hebatnya lagi ketika masuk kayu manis, tingkat kelebatan jadi 0,5 dan di jalan nambru menjadi 0. Subhanallah..

Efek samping dari fenomena ini adalah toleransi dan kekasihanan dari orang di satu wilayah dengan wilayah lain berbeda terhadap si penglaju motor. intinya sih, istri saya di rumah masih manyun aja di rumah lantaran sang suami telat pulang (jam 11 malam). wajar sih, di matraman orang-orang gak ngerasa kehujanan sih. jadi gak ngerasa kalau si penglaju menggigil kedinginan selama perjalanan.

yah, demikian celoteh siang saya..

Salam kehujanan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar