20 Januari 2012

Homo Economicus

Tadi pagi saya sedikit membuka-buka kembali buku ekonomi SMA. Buku tersebut kerap menjadi pegangan saya ketika saya dulu masih menjadi staf pengajar bimbel mata pelajaran ekonomi. Di buku tersebut saya menenggor sebuah kata yang kerap disebut oleh para ekonom, homo economicus. Di buku tersebut pula dideskripsikan bahwa homo economicus adalah orang yang masuk akal dalam melakukan tindakan ekonomi, jika untuk sebuah barang yang sama toko A menawarkan lebih murah dibanding toko B, maka seorang homo economicus akan memilih toko A. Penjelasan lanjutan dari buku itu adalah, maka toko B akan ditinggalkan dan toko A akan ramai. Membaca itu, saya langsung nyeletuk dalam hati “ah, enggak juga kalee..”.

Dari pengamatan awam saya, faktor harga memang berpengaruh besar pada laku tidaknya sebuah barang. Namun ternyata buat sejumlah kalangan, faktor harga tidak dijadikan konsideran dalam memilih sebuah barang. Malahan ada kalangan yang malah baru mau membeli suatu produk apabila produk tersebut mahal. “Ada harga, ada kualitas”, begitu kira-kira kata orang dari kalangan tersebut. Menarik untuk dikupas anomali homo economicus ini. Saya akan beri sejumlah contoh yang pernah saya amati, mainan anak.

Pasar Prumpung atau dikenal juga dengan Pasar Gembrong merupakan pasar yang kurang lebih specialty nya adalah mainan. Surga mainan. Tentu tidak semua mainan ada di sini, namun secara mayoritas, mainan anak tersedia dengan cukup lengkap di pasar ini. Suatu hari saya dan istri mencari mainan untuk anak pertama kami di pasar ini. Dari beberapa barang yang terbeli, kami mendapatkan sebuah kereta-keretaan yang lokomotifnya berupa tokoh kartun “Thomas”. Kami membelinya dengan harga final Rp65.000,00 saja. Plus sebuah track melingkar, 2 pohon mainan kecil, dan sepasang batere merek cina. Well, saya masih bisa disebut manusia normal, karena berdasarkan definisi buku tersebut, manusia adalah homo economicus, dan homo economicus memilih barang di toko yang harganya relatif lebih murah dibanding tempat lain. I’m glad to hear that. Tapi ternyata saya melihat ada kenyataan lain. Banyak “manusia” yang masih membeli mainan dengan spesifikasi yang sama dengan yang saya beli, di toko yang menawarkan dengan yang lebih tinggi. Banyak orang yang beli mainan “made in China” ini di tempat yang lebih mentereng seperti di Mall atau Plaza tertentu dengan harga yang lebih mahal. Lalu apakah bukan homo economicus, sehingga mereka bukan manusia?

Oke lah ya, penjelasan tentang homo economicus ini agak kurang valid kalau sumbernya dari buku pelajaran anak SMA, tapi yuk ane tampilin nih definisi homo economicus dari “kamus” online terbesar, wikipedia:

Homo economicus, or Economic human, is the concept in some economic theories of humans as rational and narrowly self-interested actors who have the ability to make judgments toward their subjectively defined ends.”

Kalau diterjemahin sih kurang lebih kayak begini “homo economicus adalah sebuah konsep dari teori ekonomi yang menganggap manusia sebagai makhluk rasional dan memikirkan kepentingan dirinya. Dia memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang ingin dia capai”.

Jadi kalau pakai definisi kutipan wikipedia, yang namanya homo economicus itu rasional. Kualitas sama, harga lebih mahal, secara rasio gak mungkin dibeli. Namun banyak loh barang-barang yang pool di mall/plaza/gerai/hypermarket tuh sebenarnya barang yang bisa anda temui juga di toko kelontong dengan harga dua sampai tiga kali lipat lebih murah. And yet di tempat yang lebih mahal itu masih banyak yang beli.

Ada beberapa kemungkinan kenapa perilaku irasional tersebut terjadi. Satu, imperfect information, informasi tidak sempurna. Dalam beberapa kasus, seseorang mau membeli di tempat yang lebih mahal karena memang sesederhana nggak tau ada tempat yang jual lebih murah. Buat pembeli, imperfect information adalah musibah, buat penjual, surga. Well, homo economicus baru bisa terjadi dengan ASUMSI adanya perfect information. Wait wait, kenapa “asumsi”nya saya ketik dengan huruf besar? Yah, sebagai penekanan aja sih. Soalnya dimana-mana teori ekonomi selalu menekankan kata “asumsi”. Menurut gw pribadi sih istilah “asumsi” ini adalah semacam dalih dari kelemahan teori ekonomi yang ada.. hehe.. *peace*

Kedua,simply karena sebenarnya kebanyakan manusia adalah makhluk irasional. Keirasionalan ini muncul misalnya saja karena brand, packaging, layout, dan hal hal semacamnya. Cuma karena sebuah snack diberi label merek tertentu, dan dipajang di mall, maka harganya bisa melejit setinggi langit. Sebuah sepatu dengan ongkos produksi kurang dari Rp80.000 bisa dijual di toko dengan harga lebih dari Rp500.000. Dengan sedikit permainan “diskon-diskonan”, maka kemudian sepatu tersebut terjual dengan harga Rp200.000, dan gilanya lagi yang membeli masih sempet berkata “dapet murah nih..”. Oh ya, selain brand dll yang telah saya sebut itu, keirasionalan banyak orang dikendalikan juga oleh yang namanya fashion. Iya, orang yang care dengan dunia fashion, menurut saya, adalah orang yang totally irrational. Kasihan.. :p

Akhirul kata intinya gak semua manusia itu homo economicus kok. Gak semua manusia menggunakan rasio nya ketika mengambil keputusan ekonomi. Untuk para konsumen, be smart lah. Mari kita menggeser diri kita dari orang yang gak rasional ketika mengambil keputusan ekonomi menjadi orang yang rasional. Buat para produsen, well, be happy lah. Masih banyak tuh konsumen yang masih bisa dikibulin dengan fitur-fitur marketing yang kite (marketer) udah pelajarin. Yah, lumayanlah, bisa ngambil margin lebih. Halal kok, gak nipu ini.. wekk.. hehe..

Salam Ekonomikus..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar